Bulan puasa adalah bulan yang istimewa yang hanya datang sekali dalam satu tahun. Di bulan ini umat muslim di seluruh dunia tak terkecuali di indonesia gembira menyambut kedatangan bulan yang datang sekali setahun ini. Di beberapa tempat di Nusantara masing-masing daerah mempunyai tradisinya sendiri dalam rangka menyambut bulan Ramadhan dan selama menjalankan puasa.
Di Kota Kembang, Bandung, ada tradisi unik yang biasa dilakukan oleh masyarakat kota ini menjelang bulan puasa dan selama menjalankan puasa. Kali ini kami akan mengulas keunikan tradisi di kota Bandung dalam menyambut kedatangan bulan puasa dan selama bulan puasa. Sebelumnya kita ulas terlebih dahulu mengenai Bandung tempo dulu yang sarat akan sejarahnya.
Sekilas Bandung Tempo Dulu
Kita kembali ke kota Bandung tahun ‘20-an di mana Indonesia berada di bawah kolonial Belanda dan masih bernama Hindia Belanda. Di masa itu kota Bandung bukanlah sebuah kota yang dikelilingi gunung-gunung indah.
Bandung tahun 1920-an, seperti yang digambarkan oleh sejarahwan Haryoto Kunto, merupakan kota sepi dengan tingkat kematian bayi yang tinggi yang disebabkan karena wabah malaria. Hal ini membuat kota Bandung mendapat label sebagai kuburan bayi atau kinder Kerkhof.
Bandung di masa itu bukanlah sebuah tempat yang indah dan sejuk dengan pemandangan yang bikin hati tentram. Sebaliknya, di masa itu kota yang terkenal dengan peuyeumnya ini adalah tempat menyeramkan yang dipenuhi kuburan di kebun dan pekarangan rumah warga.
Kala itu belum ada aturan tentang penempatan makam. Tidak aneh jika di setiap perkampungan terdapat makam atau kabuyutan tempat peristirahatan leluhur atau makam-makam tua yang tersebar di areal perkampungan warga.
Jadi, warga mengubur jenazah anggota keluarga di kebun, pekarangan rumah dan di areal tanah yang dimilikinya. Ini menyebabkan suasana kota semrawut dan berdampak buruk terhadap kesehatan. Keadaan inilah yang nantinya memunculkan tradisi khusus yang dilakukan di bulan puasa.
Beberapa tahun selanjutnya Bandung berbenah. Tahun ’50-an adalah tahun-tahun Bandung popular di mata dunia. Tokoh Sunda, Kang Us Tiarsa mengabadikan suasana kota Bandung di tahun tersebut secara rinci melalui bukunya yang berjudul Basa Bandung Halimunan.
Buku berbahasa Sunda karya beliau sukses membangkitkan imajinasi pembaca di zaman sekarang tentang kota Bandung di masa itu yang sempat disebut sebagai kota panyipuhan bagi warga pendatang yang berasal dari kota-kota di sekitar kota Bandung.
Panyipuhan dalam Bahasa Indonesia berarti penyepuhan, penyaduran warna yang membuat salin rupa sehingga penampilannya menjadi lebih baik. Maksudnya warga yang mengembara ke Bandung, setelah pulang kampung kulitnya menjadi lebih cerah dan bersih dan pangling.
Di tahun tersebut Bandung belum tercemar polusi. Udaranya segar dengan suasana yang teduh oleh adanya pepohonan di berbagai sudut kota dan tampak manis dengan adanya bunga-bungaan yang tumbuh di sela-sela pohonnya.
Di masa selanjutnya, pemakaman sudah mulai tertata dan pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang melarang warga Bandung mengubur jenazah anggota keluarga di pekarangan rumah lagi. Sebagai gantinya dibangunlah area makam berdasarkan agama yang dianut oleh warga Bandung.
Inilah yang menjadi unik, berkunjung ke pemakaman di kota Bandung menjadi salah satu penyebab terbentuknya tradisi bulan puasa di Bandung.
Dua Tradisi Bulan Puasa di Bandung
Tradisi di Bandung selama bulan puasa sebenarnya sudah banyak mengalami perubahan, sebagiannya bahkan sudah jarang dilakukan. Namun, ada beberapa tradisi yang masih bisa kita jumpai sampai saat ini. Penjelasan selanjutnya akan mengulas lebih dalam mengenai tradisi bulan puasa di Bandung. Simak selengkapnya berikut ini ya!
1. Bersih-Bersih Makam dan Rumah
Tradisi bulan puasa di kota Bandung berakar dari kejadian di masa lalu yang secara turun temurun dilakukan oleh nenek moyang, lalu diikuti oleh anak cucu dan generasi selanjutnya. Tradisi ini terbentuk dari kondisi di masa lalu yang masih langgeng karena setiap tahun terus dilakukan.
Di masa lalu, menjelang bulan puasa tiba, kota Bandung sudah disibukan dengan kegiatan bersih-bersih. Kegiatan ini sudah menjadi tradisi yang sejak zaman kolonial dulu sewaktu Bandung belum mempunyai pemakaman yang terpusat.
Pada waktu itu masyarakat kota Bandung akan bergotong royong melakukan bersih-bersih makam keluarga yang ada di di sekitar rumah. Ada yang mencabut rumput yang ada di sekitar makam, memperbaiki nisan dan letak makam.
Sejak adanya pemukiman yang terpusat, kegiatan bersih-bersih makam bisa kamu lihat di beberapa area pemakaman muslim di kota Bandung. Misalnya, di pemakaman Astana Anyar, Sirnaraga, Kebon Kawung, Kebon Jahe (sekarang GOR Pajajaran) dan di pemakaman warga lainnya.
Warga Bandung ada yang menyebut tradisi ini sebagai tradisi nyekar atau nadra. Di masa berikutnya, kegiatan bersih-bersih menjadi lebih luas. Kegiatan bersih-bersih di bulan puasa tidak hanya sebatas membersihkan makam keluarga dan kerabat saja, melainkan seluruh area desa.
Biasanya kegiatan berbenah dan bersih-bersih ini dilakukan sampai beberapa hari. Ada yang mengecat ulang tembok rumah, memperbaiki pagar, memperbaiki atap, menyiangi rumput di area pekarangan yang terdapat makam, memperbaiki gang desa, selokan dan lain-lain.
Tradisi inilah yang sampai sekarang terus dilakukan oleh warga Bandung terutama yang masih tinggal di area perkampungan. Keseruan bersih-bersih menjadi momen yang ditunggu oleh warga karena di momen inilah gotong royong dan rasa kebersamaan antar warga Bandung terlihat.
Tradisi bersih-bersih ini masih bisa kita lihat di Masjid Agung Kota Bandung dan alun-alun. Di masjid agung Bandung masih diselenggarakan acara bersih-bersih masjid. Ini dilakukan di waktu-waktu tertentu.
2. Tradisi Ngaraosan
Ngaraosan dalam Bahasa Indonesia berarti mencicipi. Tradisi ngaraosan dilakukan saat bulan puasa. Ketika bulan puasa biasanya warga memasak untuk sahur, buka dan takjil. Warga yang memasak ini saling bertukar makanan.
Warga Bandung sering mengirim makanan buatannya ke tetangga di sekitar rumah. Ada pula yang dibagikan ke masjid-masjid. Makanan yang diberikan kepada tetangga biasanya adalah menu untuk berbuka puasa atau menu takjil.
Menjelang malam lailatul qadar tradisi ngaraosan dan mengirim makanan menjadi lebih mewah. Di momen istimewa ini masyarakat Bandung memberikan penganan dan makanan lengkap kepada Jemaah yang menunaikan ibadah tarawih.
Penamaan istilah ngaraosan di beberapa tempat di daerah Sunda mempunyai sebutan yang berbeda. Ada yang menyebutnya mawakeun dan zazaburan. Namun, pada prakteknya semuanya mempunyai kegiatan yang sama yaitu membagi-bagi makanan ke tetangga.
Tradisi ini masih bisa kamu lihat sampai sekarang. Ketika malam lailatul qadar tiba suasana masjid semakin meriah dan makanan yang diantarkan melimpah. Mereka banyak menghabiskan waktu lebih lama di masjid bahkan sampai subuh sembari melakukan kegiatan ibadah sunat.
Penganan yang dibagikan oleh warga masyarakat menjadi bekal selama Jemaah melakukan amalan di bulan puasa. Ini menunjukan rasa kepedulian antar sesama manusia.
Itulah dua tradisi bulan puasa di Bandung yang seru. Bagi kamu yang pernah tinggal di desa, kegiatan bersih-bersih desa dan tradisi ngaraosan yang hanya bisa kita jumpai di bulan puasa menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu. Hal tersebut disebabkan dua tradisi tersebut tidak selalu kita jumpai di waktu-waktu biasanya.
Meskipun bisa saja dilakukan di lain hari, tapi dengan adanya bulan puasa kegiatan tersebut terasa menjadi istimewa. Nah, kalau kamu sendiri, tradisi di bulan puasa apa yang paling kamu tunggu?